Judul yang sangat tepat, ahaha
Semuanya berawal dari sebuah pertemuanku dengan seorang teman sekolah sekaligus musuh yang aku idolakan, namanya adalah Radit. Kami berdua memilik julukan masing-masing, kalau aku adalah 'Si Jenius', kalau Radit adalah 'Dewa'.
Suatu hari, Radit menghadangku dikoridor kelas dan menyapaku dengan senyum penuh hinaan yang selalu terlukis diwajahnya. Aku melewatinya dan hanya sekedar menatapnya dengan penuh gengsi siang itu. Tapi, tiba-tiba ia menarik baju ku dan kembali menghadangku, padahal aku sudah sangat ingin melahap roti yang baru saja kubeli dikantin, sialan!
“Buru-buru sekali sepertinya, mau kemana sih?”, tanyanya gak nyantai.
“Ya kekelas lah, gua udah laper banget", kataku sambil menunjukan seplastik roti isi coklat, "Ada perlu apa sih dit?”, tanyaku dengan kesal.
“Mauku? Semua kemauanku sudah terpenuhi dha, itu karena ayahku adalah Mafia”, jawabnya dengan tenang.
JDAAAARRRR!! Ada sesuatu yang meledak dari telingaku, mungkin karena syaraf telingaku tidak kuat menerima statement barusan. Aku sudah berteman dengannya 2 semester ini tapi aku baru tahu kalau ayahnya adalah mafia. Ragaku merinding disko, roti yang ada digenggamanku nyaris saja lepas, hebat juga dia untuk menjatuhkan mental seseorang.
“Ma...Mafia katamu?”, ujarku panik.
“Ya, tapi jangan bilang siapa-siapa karena ini adalah rahasia, bisakan?”, katanya memohon.
“Ya tentu saja”, ucapku sambil tersenyum menyembunyikan rasa takutku. Walaupun takut tapi aku harus terlihat berani didepannya, aku harus memperlihatkan padanya kejantananku, karena aku tidak mau diremehkan olehnya.
"Woii kenapa diam aja? Sariawan ya?!", katanya tapi aku mengacuhkannya.
Aku menatapnya serius sambil bicara didalam hati. Ayahnya yang anggota mafia, dia hanyalah anak kecil biadab yang sombong, aku bisa saja membantingnya dan mematahkan tangannya, tapi kalau dia mengadu pada ayahnya maka aku akan ma... Akhh tidak! Seluruh keluargaku akan mati, tentu saja termasuk aku.
"Baru lu doang yang ngacangin anak Mafia loh, gua aduin ke ayah baru tahu rasa lu", katanya meledek.
"MA'AF! MA'AF! AKU TIDAK BERMAKSUD!! MA'AF", kataku panik saat dia bicara begitu.
“Yaudah slow aja dong ngomongnya ahaha. Oiya, lu suka main game kan? Gua punya hadiah spesial untuk lu”, katanya serius sambil mengambil sesuatu dari tas kecilnya.
Tiba-tiba ia memperlihatkan padaku dua game console yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Ini adalah game terlangka didunia, game ini baru terliris 3 disc, yang memilikinya hanya si pembuat game, gua dan satu lagi adalah lu, ini adalah pemberian dari gua untuk lu”.
“Serius dit?", dengan sangat gembira aku menerimanya. "Terima kasih, hutang budi pasti gua balas, sepulang nanti gua akan langsung memainkan game ini”.
“JAAAAANGAAAAAAANNNNN!!!”, tiba-tiba ia berteriak keras dengan nada ketakutan, membuatku kaget. Nggak apa-apa sih sebenernya tapi kuahnya itu loh nggak nyantai.
“Memangnya kenapa? lu memberinya memang untuk dimainkan kan?”, tanyaku heran.
“Ya, gua memang memberinya untuk itu, tapi gua punya maksud lain, kita akan bertaruh. Siapa yang terhebat maka dia yang akan menang”, katanya semakin serius, sedangkan aku malah tambah heran. Bertaruh hanya untuk game? dia sungguh gila. Tapi aku mulai mengerti, dia mungkin ingin mengajak ku bertanding, siapa yang dapat menamatkan game ini paling cepat maka ia yang menang, iyakan?
“Baiklah, tapi kenapa?”, aku bertanya penasaran.
“Masih belum mengerti juga? Baiklah akan gua jelaskan! Begini kawan, lu dan gua sama-sama pemain game hebat di kampus ini, lu dijuluki jenius dan lu tahu apa julukan gua? Gua dijuluki Dewa, itu karena gua ganteng... akhhh salah! Karena gua hebat maskudnya”, terucap perkataan sombong liarnya dan aku sudah menduganya.
“Baiklah, akan gua uji sedewa apa lu dalam bermain game”, kataku meledeknya.
“Ya ampun bos! Harusnya gua yang bilang begitu”, sambil tersenyum licik.
“Lalu, bagaimana caranya bertarung dengan adil?”, tanyaku.
“Begini, gua akan mengatur semuanya, tolong dengarkan ucapan gua baik-baik. Kita akan bermain game hari Sabtu depan, pada tanggal 6, mumpung ini bulan Juni maka akan pas dengan rencana gua. Kita main saat tanggal menunjukkan angka 06-06-2006 atau 6-6-6”, ia menjelaskan dengan sangat serius, membuat jantungku berdebar-debar.
“Kita harus bermain tepat pada pukul 6 sore, tak boleh kurang, tak boleh lebih, bahkan detiknya pun harus tepat menunjuk kearah angka 12”, sambungnya.
"Baiklah", beda dihati beda di lisan. Aku berfikir untuk langsung memainkannya sepulang dari kampus.
“Bermainlah jujur kawan, mainlah pada tanggal yang sudah ditetapkan, itu namanya aturan, patuhi aturan itu”, katanya serius.
Aku langsung shock, daritadi ku perhatikan, dia sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan. “Baik, tapi kenapa harus serba enam sih?”, tanyaku penasaran.
“Lihat judulnya, maka lu akan mengerti, kita ini sedang membicarakan game kematian”.
Karena penasaran aku langsung melihat cover game itu. Cover paling aneh dan tidak menarik sama sekali untuk dimainkan. Tidak ada tokoh utamanya, entah game horor atau bukan. Latar belakang hitam dengan gambar lingkaran dan angka 666 berbentuk segitiga dan bertuliskan 'Game Kematian' ditengahnya. Anehnya, dibalik itu semua terdapat siluet muka yang sedang tertawa, tapi itu tidak seperti wajah manusia, kalau dilihat baik-baik justru tampak seperti wajah iblis saat sedang tertawa.
"Ya... ya... gua mengerti, semoga yang terbaik yang menang”, kataku dengan sinis.
“Ya... gua setuju, tapi dengarlah, simpan baik-baik game ini, jangan sampai hilang ataupun rusak dan jangan main sebelum waktunya, gua tahu lu amatlah penasaran dengan game ini, begitu juga dengan gua", katanya, mendengarnya bicara membuatku mulai muak.
"Oiya, lu harus tahu, sebenarnya pembuat game ini meninggal sebelum menguji coba gamenya.", katanya menakutiku.
"Meninggal katamu? yang benar saja?", tanyaku sok-sok takut.
"Iya, awalnya beliau mengalami kecelakaan biasa, mobil yang dikendarainya ditabrak oleh truk, namun tabrakan itu membuat mobilnya terpental dan menabrak pembatas jalan sehingga beliau beserta mobilnya jatuh kedasar jurang yang lumayan dalam. Warga sekitar tidak bisa membantu apa-apa, yang mereka lakukan hanyalah menonton dari bibir jurang. Beliau terperangkap didalam mobilnya sendiri, tapi saat dia hampir berhasil keluar dari mobil, mobilnya malah meledak dan menghanguskannya".
"Oiya? Mengerikan sekali", kataku mulai sedikit takut.
"Kabarnya, siang itu ia terpaksa pulang kerumahnya lewat rute lain. Naasnya, beliau malah ditabrak dan jatuh. Padahal ia berjanji kepada asistennya kalau akan menguji coba gamenya bila sudah sampai di rumah. Ia janji memainkan game buatannya tepat pada pukul 14.00 tapi ternyata ia malah tewas menggenaskan, 5 menit sebelum waktu yang telah ia janjikan dan akhirnya yang menguji coba game ini adalah asistennya. Dan kau tahu apa yang dia lihat?”.
Aku ketakutan dan hanya bisa menggelengkan kepala.
“Gua juga tidak tahu ahaha, tapi ia bilang kalau game ini adalah game yang terlarang keberadaannya, keberadaan game ini akan menimbulkan ketakutan dan trauma bagi seluruh pemainnya, game yang akan memenuhi matamu dengan genangan air mata kengerian. Gua tidak begitu mengerti tapi dia serius mengatakan demikian”, katanya serius.
“Menyeramkan, tapi cukup menarik! Gua akan berusaha keras untuk memainkan game ini”, kataku bersemangat.
“Baiklah, sama halnya dengan gua, gua akan pertaruhkan segenap jiwa dan raga bahkan nyawa gua demi memenangkannya", katanya.
"Biar tampak menantang, bagaimana bila yang kalah julukannya akan dicabut?”, sambungnya menantangku.
“Baiklah, bersiaplah! Katakan selamat tinggal pada 'julukan'-mu itu”, kataku nantangin balik.
“Kita lihat saja! Oiya, telepon gua kalau sudah nyaris jam 6, gua sudah membatalkan semua janji gua pada siapapun pada hari itu, jadi gua tinggal menunggu datangnya jam 6 saja didepan konsol, tapi belum tentu dengan lu, lu memiliki banyak teman kan? Telepon lu itu menandakan bahwa lu ada dirumah dan bersiap untuk bermain game, selamat tinggal!”.
“Baik, selamat tinggal” .
Disaat kepergiannya, ia masih menatap ku dengan tersenyum licik, seperti iblis di kover ini. Sesampainya dikelas, aku langsung duduk dibangku paling belakang, aku menaruh game konsol itu diatas meja, lalu aku segera memakan roti coklat yang nikmat, tapi ada sedikit masalah disini, seharusnya aku melihat siluet iblis di kover jelek itu, namun sekarang aku tidak dapat melihatnya lagi. Jangan-jangan aku sedang mengigau saat melihatnya, tapi itu tidak mungkin, jelas-jelas aku melihatnya sedang tertawa gembira. Tapi ya sudahlah, tidak terlalu penting juga.
Sepulang sekolah...
Hari ini cukup melelahkan, begitu tiba dirumah, aku langsung menaiki tangga dan masuk ke kamar tidur, berharap tidak ada yang mengganggu ku. Banyak yang bilang aku cowok yang aneh, karena kamar ku sangat bersih dan serba tersusun rapih, tidak ada noda atau debu yang berani menempel bahkan di pojok ruangan sekali pun.
BRUKKK!! Sebelum aku membuka pintu kamar, aku mendengar suara keras, seperti sesuatu terjatuh dan asal suaranya dari kamar tidur ku. Dengan penasaran, aku membuka pintu kamar ku tapi, aku malah dikagetkan dengan kondisi kamar ku yang berantakan seperti kapal pecah, semua barang-barang ku bertebaran kesana kemari, aroma busuk tercium di seluruh penjuru ruangan. Kalau kita memasuki ruangan yang kotor dan mengerikan, entah kenapa kita pasti jadi merinding sendiri, sama halnya ketika aku masuk kekamar ku sendiri. Saklar lampu rusak, seperti habis dipukul seserang sampai retak-retak gak jelas, saat aku ingin menekannya, keluar aliran listrik yang membuatku takut menyentuhnya. Seluruh koleksi buku kebanggaan ku menjadi lantai pijakan kamarku, saking banyaknya. Berapa kali aku mencoba untuk merapihkan, namun semuanya pasti kembali seperti sedia kala, mengherankan sekali. Dinding dan atap ruangan menjadi pudar, seperti bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Dalam hati ku, aku begitu ketakutan, aku ada dimana? ini seperti bukan kamar tidurku.
"Ma? siapa yang masuk ke kamar ku?", teriak ku, namun tidak ada yang menjawab. Aku lempar tas ku ke atas kasur dan meninggalkan ruangan ini tanpa menutup pintu, aku merasa ada yang aneh dirumah ini. Saat kaki ku pergi beranjak keluar kamar, semua barang-barang ku baik itu buku-buku pelajaran, majalah, komik, mainan dan hiasan-hiasan yang tadinya bertebaran di lantai kamar, kini beterbangan satu persatu dan kembali ke tempat asalnya, tanpa suara, sehingga aku tidak menyadarinya, lalu dengan perlahan pintu kamar ku ketutup sendiri, dan lagi-lagi tanpa suara.
Didapur, ibu ku sedang sibuk mengutak-ngatik kompor.
"Jadi mama dari tadi disini?", tanya ku.
"Iyalah, mama kan selalu sibuk masak buat makan malam nanti. Kamu sudah pulang? kok nggak ada suaranya sih?", tanya ibu heran. "Kok nggak ada salam-salamnya", sambung nya.
"Maaf deh bu, soalnya hari ini Redha capek banget", kata ku. "Kamar Redha kok jadi ancur gitu yah?", tanya ku.
"Masa sih? Mama udah beresin kok, coba kamu check lagi", kata Mama.
"Mama aja deh yang nge-check, Redha takut", kata ku.
"Dasar! Udah gede tapi masih aja takut sama kamar sendiri", kata Mama meledek.
Kami berdua beranjak pergi ke kamar ku tapi, aku dibodohi oleh kamar ku sendiri. Saat ibu ku membuka kamar, ternyata kamar ku jadi rapih dan bersih seperti sedia kala, nyaman sekali melihatnya. Ibu ku kembali meledek ku, aku hanya tertawa kecil karena senang melihat kamarku normal kembali.
Kali ini giliranku merapihkan tas ku, namun tiba-tiba aku dibuat penasaran oleh game pemberian Radit, aku jadi ingin segera memainkannya. Secara spontan, aku menyalakan Televisi dan konsol, ku tatap game ini baik-baik, mata ku pun melotot tidak karuan.
KREK Keluarlah suara asing saat aku membuka kaset, dengan cepatnya ku pasang game tersebut, aku melakukannya tanpa sadar, seperti sedang terhipnotis. Sekarang hanya tinggal menekan tombol 'START' dan hilang sudah semua rasa penasaranku, namun CKLAKK SYUUUT! Suasana berubah menjadi gelap gulita, tiba-tiba saja mati lampu dan saat itu juga aku tersadar.
"ASTAGA! Apa-apaan ini?!", kataku heran sambil memegang stik console. BRUKK! Aku melemparnya jauh-jauh, tanganku gemetar, saking takutnya aku langsung melompat ke atas kasur. Didalam hatiku yang ketakutan, aku terus berteriak, “Tidak boleh! Gua harus sabar... ya... benar... gua harus bersabar, tapi gimana kalau Radit curang? Bagaimana kalau Radit sedang asyik memainkan game ini?"... "Sudah cukup, hentikan! Gua bukanlah pecundang, gua harus menang dengan jujur, gua sudah terlanjur bertaruh dengan Radit, jadi gua harus sabar”. Ku buang semua rasa penasaranku, aku berusaha menahan godaan untuk bermain game sekeras mungkin sampai tanggal 6 tiba.
Hari demi hari, waktu kian lama berlalu. Aku melaluinya tanpa tersenyum, bahkan aku tidak pernah menyapa siapa pun, orang-orang berfikir aku gila, entahlah, mungkin mereka ada benarnya juga, yang bisa aku lakukan hanyalah menutupi mentalku yang perlahan hancur karena ingin memainkan game itu.
Aku tidak merasakan lapar dan haus, Mama ku merasa khawatir dengan ku, tapi aku selalu menutup-nutupinya dengan rapih, segala kebohongan yang terbaik untuk membungkus rapih kejadian yang sebenarnya.
Aku tidak bisa fokus lagi dengan pelajaran yang diajarkan guruku, aku terganggu oleh objek-objek aneh yang mengerikan disekelilingku, namun aku tidak bisa mengatakan apa-apa, lidahku terkunci. Tidak ada satu pun tugas yang mampu aku kerjakan, aku tidak sanggup mengerjakan soal-soal, aku sama sekali tidak bisa berfikir, aku merasa akal sehatku mulai tertutup, pikiranku mulai membusuk.
Giliran ayahku yang mengomeli ku, dia membentak-bentak ku karena nilai-nilai ku yang tidak terurus. Aku selalu menangkal omelannya dengan alasan namun semakin aku beralasan, kebohongan ku mulai Tapi aku hanya bisa menggeram ketika beliau menghajarku.
Aku menghabiskan seluruh waktu ku dengan bersembunyi dibalik selimut. Hampir setiap malam aku mengalami insomnia, sekalipun bisa tidur, aku selalu mengalami mimpi yang buruk. Mentalku, jiwaku dan tubuhku benar-benar dibuat runtuh karena game ini, aku sadar itu. Aku berniat untuk menghancurkannya, aku berusaha untuk mematahkannya, tapi tidak bisa. Aku sudah memegangnya erat, seharusnya aku bisa mematahkannya tapi tangan ku terbakar oleh CD itu, "Mustahil ini mustahil", kataku sambil menutup mata menahan tangis.
Tanggal 6 Juni 2006...
KRING!! KRING!! Alarm ku menyala, tidak kusangka aku sama sekali tidak tidur dan tidak bisa menikmati suasana malam di awal bulan Juni. Terbangun hingga pagi hari dengan penuh keringat, mataku semakin merah, semakin sayu dan terasa sangat berat. Aku langsung turun ke bawah untuk menyegarkan jasmani ku yang terpuruk ini, lalu tiba-tiba telepon berdering, aku pikir Radit meneleponku namun ternyata bukan darinya, yang menghubungiku adalah Ben, teman SMP ku dulu, dengan semangat ia mengajakku Reuni Akbar, aku menerimanya asalkan dapat pulang kerumah sebelum jam 6 soalnya aku sedang taruhan dan Ben menyetujuinya.
Lantas, aku segera mandi dan bersiap-siap pergi dari rumah. Aku tiba di rumah Ben tepat pada pukul setengah 10 siang, aku langsung menemuinya dan berbincang-bincang sebentar. Acara tersebut masih sepi, mungkin datangnya pada ngaret semua. Karena merasa ngantuk, aku pergi ke tempat yang nyaman untuk tidur. "Akhirnya, aku bisa tidur setelah sekian lama", kataku sambil berjalan mencari lapak. Aku duduk sendirian di bawah pohon yang rindang dan tanpa sadar, mataku terpejam dan aku tertidur pulas, AKHIRNYA!! Rasanya seperti sedang 'balas dendam'.
Waktu terbangun aku melihat teman-temanku yang ceria dan penuh semangat, mereka bersenang-senang dibawah lampu emas, namun langit mulai gelap, tiba-tiba aku teringat dengan janjiku dengan Radit. Aku langsung panik, aku berlari mencari temanku, Ben, tapi ia malah menepukku dari belakang.
“Ben, akhirnya ketemu! gua cariin kemana-mana juga”,ucapku dengan panik.
“Panik banget? Ada apa sih?”, katanya sambil senyum-senyum gak beres..
“Gua tahu ini pesta besar, tapi gua minta maaf sebelumnya, Ben. Gua harus pulang sekarang", kataku memohon.
“Kalau lu balik sekarang, lu berarti nggak menghargai gua!", katanya serius.
"Tapi Ben, gua...", kataku tapi terpotong.
"Gak! gak ada pulang! Gua udah suruh bibi gua untuk mengunci pintu keluar", katanya.
"Sorry Ben, tapi ini pen...", kata ku terpotong lagi.
"Najis dah lu, lemah banget sih jam segini aja udah balik", katanya meledek. Aku hanya terdiam, panas sekali mendengar ocehannya. Tanganku ingin sekali menghajarnya, tapi dia adalah temanku, aku tidak mungkin melakukannya.
"Mendingan lu gabung deh sama anak-anak, mereka baru aja dateng", katanya mengajak ku. Tapi aku mengacuhkannya, aku berfikir untuk kabur.
"Woi! Jangan diem aja njing! Ayo si...", tapi omongannya terpotong oleh pukulanku. BRUUUAAAKK!! Aku menghajarnya sekuat tenaga, bibirnya sobek, giginya pun retak, rahangnya membengkak. Suasana menjadi hening seketika, semua mata tertuju padaku, aku tidak sempat membalas tatapan mereka semua, karena mataku hanya fokus ke wajah Ben.
Kasihan dia, setelah kupukul, dia terjungkal sambil memegang bibirnya yang bocor, ia bangkit kembali dan mendekatiku dengan penuh emosi.
"BANGSAT LU!!" JDUUKKK Ben mengadu kepalanya kepada ku, aku kaget sehingga kehilangan keseimbangan, kakinya melayang di belakang kepalaku, sepersekian detik sebelum mengenaiku, aku menangkisnya BRAAAKKK Tulang kaki dan tangan kami menyilang. BRAKK BRAAKK Dia tidak puas menendangku sekali, saat ia asyik menendangku justru aku melihat kesempatan emas untuk menyerang. Tanpa sadar ia mengangkat kakinya dan kali ini gerakannya lambat, saat itu lah aku berdiri, tangan kananku menahan tangan kanannya, aku lombat dan menomponya, lutut kiri ku hantamkan ke perutnya BRUUKK Kami jatuh dan aku memukulinya saat ia tiduran ditanah. Aku memukulinya dan ia tidak bisa melawan, aku menghajar wajahnya sampai pergelangan tangan kananku patah. Lalu...
“Woi udah udah!", seseorang meneriaki kami.
Dia adalah Kori, mantan pacar ku dan sekarang dia berpacaran dengan Ben. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, rasanya rindu sekali. Dengan penuh semangat, ia menahan tubuhku yang sedang asyik menghaj... Astaga! Apa-apaan ini?!"
"Sabar sedikit bisa gak sih?", katannya sambil membentak ku.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, aku sama sekali tidak sadar... ada apa denganku?
"Ben adalah temanmu sejak SMP, kalian berdua sudah seperti pasangan homo. Walaupun kau putus denganku, tapi aku tidak pernah melihatmu terpisah darinya, kenapa kau tega melakukan ini?", katanya menceramahiku, sambil menangis haru. "Siapa kau ini?", sambungnya.
Aku tertunduk malu, aku merasa tidak berguna. Aku ingin sekali menangis dan meminta maaf.
"Ti... tidak apa-apa", terdengar suara rintihan yang menyedihkan. Itu adalah suara Ben. Dia tersenyum dalam keadaan muka bonyok.
Ben berusaha bangkit, "Dha!", dia memanggil nama ku. Aku hanya nengok sedikit, aku tidak sanggup melihat mukanya yang setengah hancur karena perbuatanku.
"Maafin gua dha kalau gua punya salah", katanya sambil menahan sakit. Aku hanya terdiam mendengarnya, jiwa ku bergetar, tidak sanggup membendung air mata.
Ben memaksakan diri untuk bangun dan menghampiri ku. "Jangan terlalu banyak gerak dulu Ben", kata Kori menegur.
"Hoi, angkat kepala lu lah. Jangan cengeng gitu", kata Ben, suaranya begitu dekat, tidak lama ia menepuk pundak ku. Lalu menjambak rambut ku untuk mengangkat kepala ku. Aku menangis didepannya, aku malu sekali. Aku hanya bisa menutup mata ku dengan tangan ku dan menyembunyikan wajah ku lagi, tapi Ben hanya tertawa melihatku.
"Masa cowok nangis? Lu orang yang baru aja menghancurkan wajah gua loh, masa nangis sih?", katanya meledek ku. Aku tetap menangis.
"Gua sedang taruhan", kataku dengan suara pelan.
"Apa?!", katanya.
"Gua sedang taruhan dengan teman sekolah gua. Gua bisa malu seumur hidup kalau gua kalah darinya Ben", kata ku sambil menghapus air mata ku.
"Kenapa lu nggak menjelaskannya dari awal", katanya.
"Gua udah mengatakannya di telepon kan? dan lu bilang setuju bos", kataku kesal.
"Gua bilang iya biar cepet aja, biar lu bisa dateng. Soalnya kalau gak ada lu gak rame bos, tapi kalau taruhan lu itu begitu penting buat lu, mending lu cabut sekarang, udah jam 6 kurang 15 menit loh", katanya penuh simpati.
"HAAAHH?!!! 15 menit lagi jam 6? Mampus deh gua!!", kata ku panik. "Sempet gak ya sampe dirumah 15 menit?", sambungku.
"Sempet lah, lu pake motor gua aja", kata Ben.
"Serius?!", tanya ku heran.
"Iya, pake gih sana! Kunci motornya lu minta sama bibi gua aja", katanya menegaskan.
"MAKASIH BEN!!", kataku senang. Aku langsung memeluknya erat, dia memang teman yang paling baik. Sedang asyik-asyik memeluknya, Kori meledek ku "Jangan lama-lama, nanti gua cemburu loh".
Aku berlari meninggalkan Ben, Kori dan anak-anak yang lain. Mereka semua mendukungku, aku merasa memiliki harapan, aku tidak boleh sampai kalah, aku akan membuat mereka bangga. Ben, maafkan aku atas kebodohan ku barusan.
Diperjalanan...
Sepeda motor yang kunaiki begitu cepat, membuatku bersemangat untuk melawan angin sore. Kelelawar berterbangan dilangit mencari sarapan, sedikit demi sedikit kegelapan menyelimuti langit, awan mulai menghitam dan pandangan menjadi redup, segelintir cahaya menerangi jalan namun itu semua malah meyakinkanku kalau aku akan pulang terlambat.
Sedang asyik-asyiknya tancap gas, aku terpaksa berhenti karena lampu merah bersinar menyilaukan mataku, spontan aku melepas helm bodoh yang kupakai karena kaca helmnya membuat sinarnya menusuk mataku, sakit sekali. Dipersimpangan lampu merah, aku semakin berpikir negatif, pikiranku kacau karena terus dihantui waktu. Terlintas dipikiran ku untuk berbuat curang yaitu menerobos. Tanpa memikirkan segala resiko, dengan masa bodohnya aku menarik gas sekuat tenaga namun... Polisi lalu lintas menghadangku dan meniupi telingaku dengan peluit, kencang sekali tiupannya. Karena kaget aku menarik tuas rem, alhasil aku tergelincir dijalan, aku terseret dan terjatuh dengan keras.
BRUUUMM BRUUMMM WUUUUUSSSS! lalu melintang mobil berkecepatan tinggi persis disamping kepala ku yang terperosok diaspal, untungnya kepala ku tidak tergores sama sekali karenanya, padahal semua orang sudah berteriak ketakutan. Tapi aku tidak peduli itu, tatapanku berubah menjadi kesal kepada polisi, melihat tampangku yang menyedihkan, polisi itu malah menegurku, membuatku tambah kesal.
"Kamu ini bukannya bla... bla... bla... lampu, lain kali pakai helm bla... bla...bla... STNK gak ada tapi bla... bla... bla...", entahlah apa yang polisi itu katakan, aku sama sekali tidak peduli. "Dasar bajingan! 100 ribu melayang begitu aja, bangsat!", kataku kesal dalam hati.
Lampu berganti, jam pun berputar, 5 menit menuju jam 6, namun aku sudah tidak semangat lagi, aku membawa motor dengan tenang, tidak sengebut sebelumnya. Tidak lama kemudian, rumah dengan pagar putih penuh dengan sampah dedaunan itu adalah rumahku, kulihat jam ternyata masih belum, 40 detik lagi sebelum jam 6.
Aku membanting motor Ben diluar, BRUAAAKK!! Sepertinya aku lupa nurunin standarnya, tapi masa bodoh lah. Ku dobrak pintu depan dan masuk tanpa melepas alas kaki, buru-buru aku masuk kekamarku dan meraih console, ku tekan tombol “START”, tepat sekali pukul 06.00 seperti yang dijanjikan, aku langsung gemetaran walau sedang duduk, saat itu aku lupa untuk menghubungi Radit, karena dari awal aku sudah menduga kalau Radit pasti sedang duduk didepan konsolnya, sama seperti posisiku sekarang. Ketakutanku semakin memuncak saat aku mendegar alunan lagu dari game yang begitu mengerikan, lalu terdengar samar-samar suara teriakan yang menunjukan rasa kesakitan. Aku mendekatkan mukaku ke layar kaca TV lalu tiba-tiba
“WAAAAAAAARRGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!”, suara keras yang menggelegar keluar dari layar kaca.
Aku terpental kebelakang, teriakan dari suara TV membuatku kaget, kalian tidak akan percaya ini, apa yang sedang aku lihat adalah sesuatu yang mengerikan.
Tiba-tiba saja TV game berubah menjadi TV horror, atau paling tidak seperti Video accident. Layar televisi berubah dari layar hitam menjadi wajah seseorang yang penuh dengan darah.
Orang itu mirip dengan Radit yang sedang terluka parah, ia berteriak minta tolong, suaranya pelan sekali, pendarahan dikepalanya pasti menyiksanya. Aku sangat takut dan tidak tega tapi apa yang bisa kulakukan? tidak ada! aku hanya bisa melihatnya sambil menelan ludah.
Mukanya hancur, darah mengalir deras dari lubang besar di tengkoraknya, muka bagian kirinya rusak parah, bahkan aku tidak melihat mata kirinya lagi, bisa dibilang wajahnya sudah remuk seperti perkedel yang ke injek truk gandeng, menyeramkan sekali. Otaknya keluar dari retakan tempurung kepalanya dan berceceran dimana-mana seperti muntahan bayi, belum lagi rahang bawahnya lepas dan terkatung-katung. Percikan darah membasahi jalan dan sebagian terlempar kelayar kaca, ia melambai-lambai seperti meminta pertolongan kepada ku namun aku hanya bisa menggigit jariku sambil terdiam sambil melotot.
Ia memang terlihat seperti Radit, tapi apa mungkin ia adalah Radit? apakah ia benar-benar Radit? siapapun dia, aku sangat takut. KRING!! KRINGG!! Berdering suara telepon, ibu ku segera menjawabnya, dengan perasaan takut aku langsung keluar dari kamarku, meninggalkan TV paling mengerikan yang pernah kulihat, sampai dibawah aku melihat ibuku yang sedang bersedih.
“Ibu? Apakah ada yang salah?", kataku shock.
“Ada berita duka nak, telepon barusan dari kepolisian, mereka bilang teman sekolahmu Radityo Putrado dikabarkan tewas tertabrak mobil”, kata ibuku.
“Apa? Innalillahi wa inna’illaihi rajiun", hatiku tertekuk. Tapi aku tidak mengerti, apakah yang kulihat barusan itu nyata? benarkah orang yang ada di TV itu benar-benar Radit? Aku kembali ke kamar ku dan melihat TV sekali lagi, namun yang ada di TV itu hanya tulisan yang bertuliskan,
"Selamat tinggal! Kaulah yang menang, Redha". Lalu terjadi ledakan besar pada konsol ku sehingga konsol ku mengeluarkan asap hitam. Baik konsol maupun game didalamnya langsung rusak seketika. Aku naik ke atas kasur dan menutupi tubuhku dengan selimut, aku merasa terpukul sekali akibat kejadian ini, walaupun aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku bergetar dari ujung kaki sampai ujung kepala, mata ku lagi-lagi tidak dapat tertutup, nurani ku hancur kembali, ada apa sebenarnya? kenapa begini jadinya?
5 Tahun telah berlalu, insiden ini tidak akan pernah aku lupakan. Tanggal 6 bulan 6 tahun 2006, tanggal yang kami janjikan menjadi hari kematian Radit, perlahan-lahan, aku mulai mengerti.
Kalau diingat-ingat lagi, Radit pernah mengatakan kalau ini adalah “Game Kematian”, lalu "Kita akan bertaruh, bukan bertanding", terlebih lagi ia bilang “Yang berhasil memainkan game ini tepat waktu, maka ia yang menang", dan yang terakhir adalah “Pertaruhkan segenap jiwa dan raga, bahkan nyawa demi kemenangan. Yang kalah, gelarnya akan dicabut", berarti permainannya sudah dimulai saat masing masing dari kami menyimpan game itu, aku dibilang menang karena aku dapat bermain tepat waktu, iyakan? Tapi, yang dicabut bukan gelar melainkan nyawa, kalah berarti mati.
Yang menyelamatkanku dari kematian adalah Ben... Oiya!! Polisi galak yang menghadangku di lampu merah juga, kalau tidak ada dia, aku akan tertabrak mobil dan aku lah yang akan muncul di TV. Tapi karena aku yang menang dan Radit yang kalah, maka aku lah yang menyaksikan Radit sekarat melalui game itu. Mungkin tanpa sadar sang iblis telah ikut serta dalam permainan ini dan menghukum pemain yang kalah, bahkan sebenarnya belakangan ini aku baru tahu kalau 06-06-2006 atau 6-6-6 adalah angka iblis.
Apakah kalian berfikir kalau cerita ku ini adalah fiksi? Tapi, dulu aku masih menyimpan cover game itu, sekarang tidak ada, sudah hilang. Kira-kira seperti ini gambar cover depannya.
Suatu hari, Radit menghadangku dikoridor kelas dan menyapaku dengan senyum penuh hinaan yang selalu terlukis diwajahnya. Aku melewatinya dan hanya sekedar menatapnya dengan penuh gengsi siang itu. Tapi, tiba-tiba ia menarik baju ku dan kembali menghadangku, padahal aku sudah sangat ingin melahap roti yang baru saja kubeli dikantin, sialan!
“Buru-buru sekali sepertinya, mau kemana sih?”, tanyanya gak nyantai.
“Ya kekelas lah, gua udah laper banget", kataku sambil menunjukan seplastik roti isi coklat, "Ada perlu apa sih dit?”, tanyaku dengan kesal.
“Mauku? Semua kemauanku sudah terpenuhi dha, itu karena ayahku adalah Mafia”, jawabnya dengan tenang.
JDAAAARRRR!! Ada sesuatu yang meledak dari telingaku, mungkin karena syaraf telingaku tidak kuat menerima statement barusan. Aku sudah berteman dengannya 2 semester ini tapi aku baru tahu kalau ayahnya adalah mafia. Ragaku merinding disko, roti yang ada digenggamanku nyaris saja lepas, hebat juga dia untuk menjatuhkan mental seseorang.
“Ma...Mafia katamu?”, ujarku panik.
“Ya, tapi jangan bilang siapa-siapa karena ini adalah rahasia, bisakan?”, katanya memohon.
“Ya tentu saja”, ucapku sambil tersenyum menyembunyikan rasa takutku. Walaupun takut tapi aku harus terlihat berani didepannya, aku harus memperlihatkan padanya kejantananku, karena aku tidak mau diremehkan olehnya.
"Woii kenapa diam aja? Sariawan ya?!", katanya tapi aku mengacuhkannya.
Aku menatapnya serius sambil bicara didalam hati. Ayahnya yang anggota mafia, dia hanyalah anak kecil biadab yang sombong, aku bisa saja membantingnya dan mematahkan tangannya, tapi kalau dia mengadu pada ayahnya maka aku akan ma... Akhh tidak! Seluruh keluargaku akan mati, tentu saja termasuk aku.
"Baru lu doang yang ngacangin anak Mafia loh, gua aduin ke ayah baru tahu rasa lu", katanya meledek.
"MA'AF! MA'AF! AKU TIDAK BERMAKSUD!! MA'AF", kataku panik saat dia bicara begitu.
“Yaudah slow aja dong ngomongnya ahaha. Oiya, lu suka main game kan? Gua punya hadiah spesial untuk lu”, katanya serius sambil mengambil sesuatu dari tas kecilnya.
Tiba-tiba ia memperlihatkan padaku dua game console yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Ini adalah game terlangka didunia, game ini baru terliris 3 disc, yang memilikinya hanya si pembuat game, gua dan satu lagi adalah lu, ini adalah pemberian dari gua untuk lu”.
“Serius dit?", dengan sangat gembira aku menerimanya. "Terima kasih, hutang budi pasti gua balas, sepulang nanti gua akan langsung memainkan game ini”.
“JAAAAANGAAAAAAANNNNN!!!”, tiba-tiba ia berteriak keras dengan nada ketakutan, membuatku kaget. Nggak apa-apa sih sebenernya tapi kuahnya itu loh nggak nyantai.
“Memangnya kenapa? lu memberinya memang untuk dimainkan kan?”, tanyaku heran.
“Ya, gua memang memberinya untuk itu, tapi gua punya maksud lain, kita akan bertaruh. Siapa yang terhebat maka dia yang akan menang”, katanya semakin serius, sedangkan aku malah tambah heran. Bertaruh hanya untuk game? dia sungguh gila. Tapi aku mulai mengerti, dia mungkin ingin mengajak ku bertanding, siapa yang dapat menamatkan game ini paling cepat maka ia yang menang, iyakan?
“Baiklah, tapi kenapa?”, aku bertanya penasaran.
“Masih belum mengerti juga? Baiklah akan gua jelaskan! Begini kawan, lu dan gua sama-sama pemain game hebat di kampus ini, lu dijuluki jenius dan lu tahu apa julukan gua? Gua dijuluki Dewa, itu karena gua ganteng... akhhh salah! Karena gua hebat maskudnya”, terucap perkataan sombong liarnya dan aku sudah menduganya.
“Baiklah, akan gua uji sedewa apa lu dalam bermain game”, kataku meledeknya.
“Ya ampun bos! Harusnya gua yang bilang begitu”, sambil tersenyum licik.
“Lalu, bagaimana caranya bertarung dengan adil?”, tanyaku.
“Begini, gua akan mengatur semuanya, tolong dengarkan ucapan gua baik-baik. Kita akan bermain game hari Sabtu depan, pada tanggal 6, mumpung ini bulan Juni maka akan pas dengan rencana gua. Kita main saat tanggal menunjukkan angka 06-06-2006 atau 6-6-6”, ia menjelaskan dengan sangat serius, membuat jantungku berdebar-debar.
“Kita harus bermain tepat pada pukul 6 sore, tak boleh kurang, tak boleh lebih, bahkan detiknya pun harus tepat menunjuk kearah angka 12”, sambungnya.
"Baiklah", beda dihati beda di lisan. Aku berfikir untuk langsung memainkannya sepulang dari kampus.
“Bermainlah jujur kawan, mainlah pada tanggal yang sudah ditetapkan, itu namanya aturan, patuhi aturan itu”, katanya serius.
Aku langsung shock, daritadi ku perhatikan, dia sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan. “Baik, tapi kenapa harus serba enam sih?”, tanyaku penasaran.
“Lihat judulnya, maka lu akan mengerti, kita ini sedang membicarakan game kematian”.
Karena penasaran aku langsung melihat cover game itu. Cover paling aneh dan tidak menarik sama sekali untuk dimainkan. Tidak ada tokoh utamanya, entah game horor atau bukan. Latar belakang hitam dengan gambar lingkaran dan angka 666 berbentuk segitiga dan bertuliskan 'Game Kematian' ditengahnya. Anehnya, dibalik itu semua terdapat siluet muka yang sedang tertawa, tapi itu tidak seperti wajah manusia, kalau dilihat baik-baik justru tampak seperti wajah iblis saat sedang tertawa.
"Ya... ya... gua mengerti, semoga yang terbaik yang menang”, kataku dengan sinis.
“Ya... gua setuju, tapi dengarlah, simpan baik-baik game ini, jangan sampai hilang ataupun rusak dan jangan main sebelum waktunya, gua tahu lu amatlah penasaran dengan game ini, begitu juga dengan gua", katanya, mendengarnya bicara membuatku mulai muak.
"Oiya, lu harus tahu, sebenarnya pembuat game ini meninggal sebelum menguji coba gamenya.", katanya menakutiku.
"Meninggal katamu? yang benar saja?", tanyaku sok-sok takut.
"Iya, awalnya beliau mengalami kecelakaan biasa, mobil yang dikendarainya ditabrak oleh truk, namun tabrakan itu membuat mobilnya terpental dan menabrak pembatas jalan sehingga beliau beserta mobilnya jatuh kedasar jurang yang lumayan dalam. Warga sekitar tidak bisa membantu apa-apa, yang mereka lakukan hanyalah menonton dari bibir jurang. Beliau terperangkap didalam mobilnya sendiri, tapi saat dia hampir berhasil keluar dari mobil, mobilnya malah meledak dan menghanguskannya".
"Oiya? Mengerikan sekali", kataku mulai sedikit takut.
"Kabarnya, siang itu ia terpaksa pulang kerumahnya lewat rute lain. Naasnya, beliau malah ditabrak dan jatuh. Padahal ia berjanji kepada asistennya kalau akan menguji coba gamenya bila sudah sampai di rumah. Ia janji memainkan game buatannya tepat pada pukul 14.00 tapi ternyata ia malah tewas menggenaskan, 5 menit sebelum waktu yang telah ia janjikan dan akhirnya yang menguji coba game ini adalah asistennya. Dan kau tahu apa yang dia lihat?”.
Aku ketakutan dan hanya bisa menggelengkan kepala.
“Gua juga tidak tahu ahaha, tapi ia bilang kalau game ini adalah game yang terlarang keberadaannya, keberadaan game ini akan menimbulkan ketakutan dan trauma bagi seluruh pemainnya, game yang akan memenuhi matamu dengan genangan air mata kengerian. Gua tidak begitu mengerti tapi dia serius mengatakan demikian”, katanya serius.
“Menyeramkan, tapi cukup menarik! Gua akan berusaha keras untuk memainkan game ini”, kataku bersemangat.
“Baiklah, sama halnya dengan gua, gua akan pertaruhkan segenap jiwa dan raga bahkan nyawa gua demi memenangkannya", katanya.
"Biar tampak menantang, bagaimana bila yang kalah julukannya akan dicabut?”, sambungnya menantangku.
“Baiklah, bersiaplah! Katakan selamat tinggal pada 'julukan'-mu itu”, kataku nantangin balik.
“Kita lihat saja! Oiya, telepon gua kalau sudah nyaris jam 6, gua sudah membatalkan semua janji gua pada siapapun pada hari itu, jadi gua tinggal menunggu datangnya jam 6 saja didepan konsol, tapi belum tentu dengan lu, lu memiliki banyak teman kan? Telepon lu itu menandakan bahwa lu ada dirumah dan bersiap untuk bermain game, selamat tinggal!”.
“Baik, selamat tinggal” .
Disaat kepergiannya, ia masih menatap ku dengan tersenyum licik, seperti iblis di kover ini. Sesampainya dikelas, aku langsung duduk dibangku paling belakang, aku menaruh game konsol itu diatas meja, lalu aku segera memakan roti coklat yang nikmat, tapi ada sedikit masalah disini, seharusnya aku melihat siluet iblis di kover jelek itu, namun sekarang aku tidak dapat melihatnya lagi. Jangan-jangan aku sedang mengigau saat melihatnya, tapi itu tidak mungkin, jelas-jelas aku melihatnya sedang tertawa gembira. Tapi ya sudahlah, tidak terlalu penting juga.
Sepulang sekolah...
Hari ini cukup melelahkan, begitu tiba dirumah, aku langsung menaiki tangga dan masuk ke kamar tidur, berharap tidak ada yang mengganggu ku. Banyak yang bilang aku cowok yang aneh, karena kamar ku sangat bersih dan serba tersusun rapih, tidak ada noda atau debu yang berani menempel bahkan di pojok ruangan sekali pun.
BRUKKK!! Sebelum aku membuka pintu kamar, aku mendengar suara keras, seperti sesuatu terjatuh dan asal suaranya dari kamar tidur ku. Dengan penasaran, aku membuka pintu kamar ku tapi, aku malah dikagetkan dengan kondisi kamar ku yang berantakan seperti kapal pecah, semua barang-barang ku bertebaran kesana kemari, aroma busuk tercium di seluruh penjuru ruangan. Kalau kita memasuki ruangan yang kotor dan mengerikan, entah kenapa kita pasti jadi merinding sendiri, sama halnya ketika aku masuk kekamar ku sendiri. Saklar lampu rusak, seperti habis dipukul seserang sampai retak-retak gak jelas, saat aku ingin menekannya, keluar aliran listrik yang membuatku takut menyentuhnya. Seluruh koleksi buku kebanggaan ku menjadi lantai pijakan kamarku, saking banyaknya. Berapa kali aku mencoba untuk merapihkan, namun semuanya pasti kembali seperti sedia kala, mengherankan sekali. Dinding dan atap ruangan menjadi pudar, seperti bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Dalam hati ku, aku begitu ketakutan, aku ada dimana? ini seperti bukan kamar tidurku.
"Ma? siapa yang masuk ke kamar ku?", teriak ku, namun tidak ada yang menjawab. Aku lempar tas ku ke atas kasur dan meninggalkan ruangan ini tanpa menutup pintu, aku merasa ada yang aneh dirumah ini. Saat kaki ku pergi beranjak keluar kamar, semua barang-barang ku baik itu buku-buku pelajaran, majalah, komik, mainan dan hiasan-hiasan yang tadinya bertebaran di lantai kamar, kini beterbangan satu persatu dan kembali ke tempat asalnya, tanpa suara, sehingga aku tidak menyadarinya, lalu dengan perlahan pintu kamar ku ketutup sendiri, dan lagi-lagi tanpa suara.
Didapur, ibu ku sedang sibuk mengutak-ngatik kompor.
"Jadi mama dari tadi disini?", tanya ku.
"Iyalah, mama kan selalu sibuk masak buat makan malam nanti. Kamu sudah pulang? kok nggak ada suaranya sih?", tanya ibu heran. "Kok nggak ada salam-salamnya", sambung nya.
"Maaf deh bu, soalnya hari ini Redha capek banget", kata ku. "Kamar Redha kok jadi ancur gitu yah?", tanya ku.
"Masa sih? Mama udah beresin kok, coba kamu check lagi", kata Mama.
"Mama aja deh yang nge-check, Redha takut", kata ku.
"Dasar! Udah gede tapi masih aja takut sama kamar sendiri", kata Mama meledek.
Kami berdua beranjak pergi ke kamar ku tapi, aku dibodohi oleh kamar ku sendiri. Saat ibu ku membuka kamar, ternyata kamar ku jadi rapih dan bersih seperti sedia kala, nyaman sekali melihatnya. Ibu ku kembali meledek ku, aku hanya tertawa kecil karena senang melihat kamarku normal kembali.
Kali ini giliranku merapihkan tas ku, namun tiba-tiba aku dibuat penasaran oleh game pemberian Radit, aku jadi ingin segera memainkannya. Secara spontan, aku menyalakan Televisi dan konsol, ku tatap game ini baik-baik, mata ku pun melotot tidak karuan.
KREK Keluarlah suara asing saat aku membuka kaset, dengan cepatnya ku pasang game tersebut, aku melakukannya tanpa sadar, seperti sedang terhipnotis. Sekarang hanya tinggal menekan tombol 'START' dan hilang sudah semua rasa penasaranku, namun CKLAKK SYUUUT! Suasana berubah menjadi gelap gulita, tiba-tiba saja mati lampu dan saat itu juga aku tersadar.
"ASTAGA! Apa-apaan ini?!", kataku heran sambil memegang stik console. BRUKK! Aku melemparnya jauh-jauh, tanganku gemetar, saking takutnya aku langsung melompat ke atas kasur. Didalam hatiku yang ketakutan, aku terus berteriak, “Tidak boleh! Gua harus sabar... ya... benar... gua harus bersabar, tapi gimana kalau Radit curang? Bagaimana kalau Radit sedang asyik memainkan game ini?"... "Sudah cukup, hentikan! Gua bukanlah pecundang, gua harus menang dengan jujur, gua sudah terlanjur bertaruh dengan Radit, jadi gua harus sabar”. Ku buang semua rasa penasaranku, aku berusaha menahan godaan untuk bermain game sekeras mungkin sampai tanggal 6 tiba.
Hari demi hari, waktu kian lama berlalu. Aku melaluinya tanpa tersenyum, bahkan aku tidak pernah menyapa siapa pun, orang-orang berfikir aku gila, entahlah, mungkin mereka ada benarnya juga, yang bisa aku lakukan hanyalah menutupi mentalku yang perlahan hancur karena ingin memainkan game itu.
Aku tidak merasakan lapar dan haus, Mama ku merasa khawatir dengan ku, tapi aku selalu menutup-nutupinya dengan rapih, segala kebohongan yang terbaik untuk membungkus rapih kejadian yang sebenarnya.
Aku tidak bisa fokus lagi dengan pelajaran yang diajarkan guruku, aku terganggu oleh objek-objek aneh yang mengerikan disekelilingku, namun aku tidak bisa mengatakan apa-apa, lidahku terkunci. Tidak ada satu pun tugas yang mampu aku kerjakan, aku tidak sanggup mengerjakan soal-soal, aku sama sekali tidak bisa berfikir, aku merasa akal sehatku mulai tertutup, pikiranku mulai membusuk.
Giliran ayahku yang mengomeli ku, dia membentak-bentak ku karena nilai-nilai ku yang tidak terurus. Aku selalu menangkal omelannya dengan alasan namun semakin aku beralasan, kebohongan ku mulai Tapi aku hanya bisa menggeram ketika beliau menghajarku.
Aku menghabiskan seluruh waktu ku dengan bersembunyi dibalik selimut. Hampir setiap malam aku mengalami insomnia, sekalipun bisa tidur, aku selalu mengalami mimpi yang buruk. Mentalku, jiwaku dan tubuhku benar-benar dibuat runtuh karena game ini, aku sadar itu. Aku berniat untuk menghancurkannya, aku berusaha untuk mematahkannya, tapi tidak bisa. Aku sudah memegangnya erat, seharusnya aku bisa mematahkannya tapi tangan ku terbakar oleh CD itu, "Mustahil ini mustahil", kataku sambil menutup mata menahan tangis.
Tanggal 6 Juni 2006...
KRING!! KRING!! Alarm ku menyala, tidak kusangka aku sama sekali tidak tidur dan tidak bisa menikmati suasana malam di awal bulan Juni. Terbangun hingga pagi hari dengan penuh keringat, mataku semakin merah, semakin sayu dan terasa sangat berat. Aku langsung turun ke bawah untuk menyegarkan jasmani ku yang terpuruk ini, lalu tiba-tiba telepon berdering, aku pikir Radit meneleponku namun ternyata bukan darinya, yang menghubungiku adalah Ben, teman SMP ku dulu, dengan semangat ia mengajakku Reuni Akbar, aku menerimanya asalkan dapat pulang kerumah sebelum jam 6 soalnya aku sedang taruhan dan Ben menyetujuinya.
Lantas, aku segera mandi dan bersiap-siap pergi dari rumah. Aku tiba di rumah Ben tepat pada pukul setengah 10 siang, aku langsung menemuinya dan berbincang-bincang sebentar. Acara tersebut masih sepi, mungkin datangnya pada ngaret semua. Karena merasa ngantuk, aku pergi ke tempat yang nyaman untuk tidur. "Akhirnya, aku bisa tidur setelah sekian lama", kataku sambil berjalan mencari lapak. Aku duduk sendirian di bawah pohon yang rindang dan tanpa sadar, mataku terpejam dan aku tertidur pulas, AKHIRNYA!! Rasanya seperti sedang 'balas dendam'.
Waktu terbangun aku melihat teman-temanku yang ceria dan penuh semangat, mereka bersenang-senang dibawah lampu emas, namun langit mulai gelap, tiba-tiba aku teringat dengan janjiku dengan Radit. Aku langsung panik, aku berlari mencari temanku, Ben, tapi ia malah menepukku dari belakang.
“Ben, akhirnya ketemu! gua cariin kemana-mana juga”,ucapku dengan panik.
“Panik banget? Ada apa sih?”, katanya sambil senyum-senyum gak beres..
“Gua tahu ini pesta besar, tapi gua minta maaf sebelumnya, Ben. Gua harus pulang sekarang", kataku memohon.
“Kalau lu balik sekarang, lu berarti nggak menghargai gua!", katanya serius.
"Tapi Ben, gua...", kataku tapi terpotong.
"Gak! gak ada pulang! Gua udah suruh bibi gua untuk mengunci pintu keluar", katanya.
"Sorry Ben, tapi ini pen...", kata ku terpotong lagi.
"Najis dah lu, lemah banget sih jam segini aja udah balik", katanya meledek. Aku hanya terdiam, panas sekali mendengar ocehannya. Tanganku ingin sekali menghajarnya, tapi dia adalah temanku, aku tidak mungkin melakukannya.
"Mendingan lu gabung deh sama anak-anak, mereka baru aja dateng", katanya mengajak ku. Tapi aku mengacuhkannya, aku berfikir untuk kabur.
"Woi! Jangan diem aja njing! Ayo si...", tapi omongannya terpotong oleh pukulanku. BRUUUAAAKK!! Aku menghajarnya sekuat tenaga, bibirnya sobek, giginya pun retak, rahangnya membengkak. Suasana menjadi hening seketika, semua mata tertuju padaku, aku tidak sempat membalas tatapan mereka semua, karena mataku hanya fokus ke wajah Ben.
Kasihan dia, setelah kupukul, dia terjungkal sambil memegang bibirnya yang bocor, ia bangkit kembali dan mendekatiku dengan penuh emosi.
"BANGSAT LU!!" JDUUKKK Ben mengadu kepalanya kepada ku, aku kaget sehingga kehilangan keseimbangan, kakinya melayang di belakang kepalaku, sepersekian detik sebelum mengenaiku, aku menangkisnya BRAAAKKK Tulang kaki dan tangan kami menyilang. BRAKK BRAAKK Dia tidak puas menendangku sekali, saat ia asyik menendangku justru aku melihat kesempatan emas untuk menyerang. Tanpa sadar ia mengangkat kakinya dan kali ini gerakannya lambat, saat itu lah aku berdiri, tangan kananku menahan tangan kanannya, aku lombat dan menomponya, lutut kiri ku hantamkan ke perutnya BRUUKK Kami jatuh dan aku memukulinya saat ia tiduran ditanah. Aku memukulinya dan ia tidak bisa melawan, aku menghajar wajahnya sampai pergelangan tangan kananku patah. Lalu...
“Woi udah udah!", seseorang meneriaki kami.
Dia adalah Kori, mantan pacar ku dan sekarang dia berpacaran dengan Ben. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, rasanya rindu sekali. Dengan penuh semangat, ia menahan tubuhku yang sedang asyik menghaj... Astaga! Apa-apaan ini?!"
"Sabar sedikit bisa gak sih?", katannya sambil membentak ku.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, aku sama sekali tidak sadar... ada apa denganku?
"Ben adalah temanmu sejak SMP, kalian berdua sudah seperti pasangan homo. Walaupun kau putus denganku, tapi aku tidak pernah melihatmu terpisah darinya, kenapa kau tega melakukan ini?", katanya menceramahiku, sambil menangis haru. "Siapa kau ini?", sambungnya.
Aku tertunduk malu, aku merasa tidak berguna. Aku ingin sekali menangis dan meminta maaf.
"Ti... tidak apa-apa", terdengar suara rintihan yang menyedihkan. Itu adalah suara Ben. Dia tersenyum dalam keadaan muka bonyok.
Ben berusaha bangkit, "Dha!", dia memanggil nama ku. Aku hanya nengok sedikit, aku tidak sanggup melihat mukanya yang setengah hancur karena perbuatanku.
"Maafin gua dha kalau gua punya salah", katanya sambil menahan sakit. Aku hanya terdiam mendengarnya, jiwa ku bergetar, tidak sanggup membendung air mata.
Ben memaksakan diri untuk bangun dan menghampiri ku. "Jangan terlalu banyak gerak dulu Ben", kata Kori menegur.
"Hoi, angkat kepala lu lah. Jangan cengeng gitu", kata Ben, suaranya begitu dekat, tidak lama ia menepuk pundak ku. Lalu menjambak rambut ku untuk mengangkat kepala ku. Aku menangis didepannya, aku malu sekali. Aku hanya bisa menutup mata ku dengan tangan ku dan menyembunyikan wajah ku lagi, tapi Ben hanya tertawa melihatku.
"Masa cowok nangis? Lu orang yang baru aja menghancurkan wajah gua loh, masa nangis sih?", katanya meledek ku. Aku tetap menangis.
"Gua sedang taruhan", kataku dengan suara pelan.
"Apa?!", katanya.
"Gua sedang taruhan dengan teman sekolah gua. Gua bisa malu seumur hidup kalau gua kalah darinya Ben", kata ku sambil menghapus air mata ku.
"Kenapa lu nggak menjelaskannya dari awal", katanya.
"Gua udah mengatakannya di telepon kan? dan lu bilang setuju bos", kataku kesal.
"Gua bilang iya biar cepet aja, biar lu bisa dateng. Soalnya kalau gak ada lu gak rame bos, tapi kalau taruhan lu itu begitu penting buat lu, mending lu cabut sekarang, udah jam 6 kurang 15 menit loh", katanya penuh simpati.
"HAAAHH?!!! 15 menit lagi jam 6? Mampus deh gua!!", kata ku panik. "Sempet gak ya sampe dirumah 15 menit?", sambungku.
"Sempet lah, lu pake motor gua aja", kata Ben.
"Serius?!", tanya ku heran.
"Iya, pake gih sana! Kunci motornya lu minta sama bibi gua aja", katanya menegaskan.
"MAKASIH BEN!!", kataku senang. Aku langsung memeluknya erat, dia memang teman yang paling baik. Sedang asyik-asyik memeluknya, Kori meledek ku "Jangan lama-lama, nanti gua cemburu loh".
Aku berlari meninggalkan Ben, Kori dan anak-anak yang lain. Mereka semua mendukungku, aku merasa memiliki harapan, aku tidak boleh sampai kalah, aku akan membuat mereka bangga. Ben, maafkan aku atas kebodohan ku barusan.
Diperjalanan...
Sepeda motor yang kunaiki begitu cepat, membuatku bersemangat untuk melawan angin sore. Kelelawar berterbangan dilangit mencari sarapan, sedikit demi sedikit kegelapan menyelimuti langit, awan mulai menghitam dan pandangan menjadi redup, segelintir cahaya menerangi jalan namun itu semua malah meyakinkanku kalau aku akan pulang terlambat.
Sedang asyik-asyiknya tancap gas, aku terpaksa berhenti karena lampu merah bersinar menyilaukan mataku, spontan aku melepas helm bodoh yang kupakai karena kaca helmnya membuat sinarnya menusuk mataku, sakit sekali. Dipersimpangan lampu merah, aku semakin berpikir negatif, pikiranku kacau karena terus dihantui waktu. Terlintas dipikiran ku untuk berbuat curang yaitu menerobos. Tanpa memikirkan segala resiko, dengan masa bodohnya aku menarik gas sekuat tenaga namun... Polisi lalu lintas menghadangku dan meniupi telingaku dengan peluit, kencang sekali tiupannya. Karena kaget aku menarik tuas rem, alhasil aku tergelincir dijalan, aku terseret dan terjatuh dengan keras.
BRUUUMM BRUUMMM WUUUUUSSSS! lalu melintang mobil berkecepatan tinggi persis disamping kepala ku yang terperosok diaspal, untungnya kepala ku tidak tergores sama sekali karenanya, padahal semua orang sudah berteriak ketakutan. Tapi aku tidak peduli itu, tatapanku berubah menjadi kesal kepada polisi, melihat tampangku yang menyedihkan, polisi itu malah menegurku, membuatku tambah kesal.
"Kamu ini bukannya bla... bla... bla... lampu, lain kali pakai helm bla... bla...bla... STNK gak ada tapi bla... bla... bla...", entahlah apa yang polisi itu katakan, aku sama sekali tidak peduli. "Dasar bajingan! 100 ribu melayang begitu aja, bangsat!", kataku kesal dalam hati.
Lampu berganti, jam pun berputar, 5 menit menuju jam 6, namun aku sudah tidak semangat lagi, aku membawa motor dengan tenang, tidak sengebut sebelumnya. Tidak lama kemudian, rumah dengan pagar putih penuh dengan sampah dedaunan itu adalah rumahku, kulihat jam ternyata masih belum, 40 detik lagi sebelum jam 6.
Aku membanting motor Ben diluar, BRUAAAKK!! Sepertinya aku lupa nurunin standarnya, tapi masa bodoh lah. Ku dobrak pintu depan dan masuk tanpa melepas alas kaki, buru-buru aku masuk kekamarku dan meraih console, ku tekan tombol “START”, tepat sekali pukul 06.00 seperti yang dijanjikan, aku langsung gemetaran walau sedang duduk, saat itu aku lupa untuk menghubungi Radit, karena dari awal aku sudah menduga kalau Radit pasti sedang duduk didepan konsolnya, sama seperti posisiku sekarang. Ketakutanku semakin memuncak saat aku mendegar alunan lagu dari game yang begitu mengerikan, lalu terdengar samar-samar suara teriakan yang menunjukan rasa kesakitan. Aku mendekatkan mukaku ke layar kaca TV lalu tiba-tiba
“WAAAAAAAARRGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!”, suara keras yang menggelegar keluar dari layar kaca.
Aku terpental kebelakang, teriakan dari suara TV membuatku kaget, kalian tidak akan percaya ini, apa yang sedang aku lihat adalah sesuatu yang mengerikan.
Tiba-tiba saja TV game berubah menjadi TV horror, atau paling tidak seperti Video accident. Layar televisi berubah dari layar hitam menjadi wajah seseorang yang penuh dengan darah.
Orang itu mirip dengan Radit yang sedang terluka parah, ia berteriak minta tolong, suaranya pelan sekali, pendarahan dikepalanya pasti menyiksanya. Aku sangat takut dan tidak tega tapi apa yang bisa kulakukan? tidak ada! aku hanya bisa melihatnya sambil menelan ludah.
Mukanya hancur, darah mengalir deras dari lubang besar di tengkoraknya, muka bagian kirinya rusak parah, bahkan aku tidak melihat mata kirinya lagi, bisa dibilang wajahnya sudah remuk seperti perkedel yang ke injek truk gandeng, menyeramkan sekali. Otaknya keluar dari retakan tempurung kepalanya dan berceceran dimana-mana seperti muntahan bayi, belum lagi rahang bawahnya lepas dan terkatung-katung. Percikan darah membasahi jalan dan sebagian terlempar kelayar kaca, ia melambai-lambai seperti meminta pertolongan kepada ku namun aku hanya bisa menggigit jariku sambil terdiam sambil melotot.
Ia memang terlihat seperti Radit, tapi apa mungkin ia adalah Radit? apakah ia benar-benar Radit? siapapun dia, aku sangat takut. KRING!! KRINGG!! Berdering suara telepon, ibu ku segera menjawabnya, dengan perasaan takut aku langsung keluar dari kamarku, meninggalkan TV paling mengerikan yang pernah kulihat, sampai dibawah aku melihat ibuku yang sedang bersedih.
“Ibu? Apakah ada yang salah?", kataku shock.
“Ada berita duka nak, telepon barusan dari kepolisian, mereka bilang teman sekolahmu Radityo Putrado dikabarkan tewas tertabrak mobil”, kata ibuku.
“Apa? Innalillahi wa inna’illaihi rajiun", hatiku tertekuk. Tapi aku tidak mengerti, apakah yang kulihat barusan itu nyata? benarkah orang yang ada di TV itu benar-benar Radit? Aku kembali ke kamar ku dan melihat TV sekali lagi, namun yang ada di TV itu hanya tulisan yang bertuliskan,
"Selamat tinggal! Kaulah yang menang, Redha". Lalu terjadi ledakan besar pada konsol ku sehingga konsol ku mengeluarkan asap hitam. Baik konsol maupun game didalamnya langsung rusak seketika. Aku naik ke atas kasur dan menutupi tubuhku dengan selimut, aku merasa terpukul sekali akibat kejadian ini, walaupun aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku bergetar dari ujung kaki sampai ujung kepala, mata ku lagi-lagi tidak dapat tertutup, nurani ku hancur kembali, ada apa sebenarnya? kenapa begini jadinya?
5 Tahun telah berlalu, insiden ini tidak akan pernah aku lupakan. Tanggal 6 bulan 6 tahun 2006, tanggal yang kami janjikan menjadi hari kematian Radit, perlahan-lahan, aku mulai mengerti.
Kalau diingat-ingat lagi, Radit pernah mengatakan kalau ini adalah “Game Kematian”, lalu "Kita akan bertaruh, bukan bertanding", terlebih lagi ia bilang “Yang berhasil memainkan game ini tepat waktu, maka ia yang menang", dan yang terakhir adalah “Pertaruhkan segenap jiwa dan raga, bahkan nyawa demi kemenangan. Yang kalah, gelarnya akan dicabut", berarti permainannya sudah dimulai saat masing masing dari kami menyimpan game itu, aku dibilang menang karena aku dapat bermain tepat waktu, iyakan? Tapi, yang dicabut bukan gelar melainkan nyawa, kalah berarti mati.
Yang menyelamatkanku dari kematian adalah Ben... Oiya!! Polisi galak yang menghadangku di lampu merah juga, kalau tidak ada dia, aku akan tertabrak mobil dan aku lah yang akan muncul di TV. Tapi karena aku yang menang dan Radit yang kalah, maka aku lah yang menyaksikan Radit sekarat melalui game itu. Mungkin tanpa sadar sang iblis telah ikut serta dalam permainan ini dan menghukum pemain yang kalah, bahkan sebenarnya belakangan ini aku baru tahu kalau 06-06-2006 atau 6-6-6 adalah angka iblis.
Apakah kalian berfikir kalau cerita ku ini adalah fiksi? Tapi, dulu aku masih menyimpan cover game itu, sekarang tidak ada, sudah hilang. Kira-kira seperti ini gambar cover depannya.